Site Network: Home | Blogcrowds | Gecko and Fly | About

Jakarta


Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta, Jakarta Raya) adalah ibu kota negara Indonesia. Kota ini merupakan satu-satunya di Indonesia yang memiliki status setingkat provinsi. Jakarta terletak di bagian barat laut Pulau Jawa. Dahulu pernah dikenal dengan nama Sunda Kelapa/Kalapa (sebelum 1527), Jayakarta (1527-1619), Batavia (1619-1942), dan Djakarta (1942-1972).

Pada tahun 2004, luasnya adalah sekitar 740 km²; dan penduduknya berjumlah 8.792.000 jiwa[2]. Jakarta bersama metropolitan Jabotabek dengan penduduk sekitar 23 juta jiwa merupakan wilayah metropolitan terbesar di Indonesia atau urutan keenam dunia. Kini wilayah Jabotabek telah terintegrasi dengan wilayah Bandung Raya, di mana megapolis Jabotabek-Bandung Raya mencakup sekitar 30 juta jiwa, yang menempatkan wilayah megapolis ini di urutan kedua dunia, setelah megapolis Tokyo.

Saat ini pintu masuk internasional Jakarta dapat melalui Bandara Soekarno-Hatta dan Pelabuhan Tanjung Priok. Sejak tahun 2004 di bawah kepemimpinan gubernur Sutiyoso, Jakarta memiliki transportasi terpadu, yang dikenal dengan Transjakarta. Selain istana negara, Jakarta juga merupakan kantor pusat Bank Indonesia dan Bursa Efek Indonesia.

Geografi

Jakarta berlokasi di pesisir utara pulau Jawa, di muara sungai Ciliwung, Teluk Jakarta. Jakarta terletak di dataran rendah pada ketinggian rata-rata 8 meter d.p.l. Hal ini mengakibatkan Jakarta sering dilanda banjir. Selatan Jakarta merupakan dataran tinggi yang dikenal dengan daerah Puncak. Jakarta dialiri oleh 13 sungai yang kesemuanya bermuara ke Teluk Jakarta. Sungai yang terpenting ialah Ciliwung, yang membelah kota menjadi dua. Sebelah timur dan selatan Jakarta berbatasan dengan propinsi Jawa Barat dan di sebelah barat berbatasan dengan propinsi Banten.

Kepulauan Seribu, sebuah kabupaten administratif, terletak di Teluk Jakarta. Sekitar 105 pulau terletak sejauh 45 km (28 mil) sebelah utara kota.

Iklim

Jakarta memiliki suhu udara yang panas dan kering atau beriklim tropis. Terletak di bagian barat Indonesia, Jakarta mengalami puncak musim penghujan pada bulan Januari dan februari dengan rata-rata curah hujan 350 milimeter (14 inchi) dengan suhu rata-rata 27°C, curah hujan antara bulan januari dan awal februari sangat ekstrim pada saat itulah jakarta dilanda banjir setiap tahunnya, dan puncak musim kemarau pada bulan Agustus dengan rata-rata curah hujan 60 milimeter (2,4 inchi) bulan september dan awal oktober adalah hari-hari yang sangat panas di Jakata suhu udara dapat mencapai 40°C .[3]. Suhu rata-rata tahunan berkisar antara 25°-38°C (77°-100°F).[4]

Etimologi

Nama Jakarta dianggap sebagai kependekan dari kata Jayakarta. Nama ini diberikan oleh orang-orang Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan) setelah merebut pelabuhan Sunda Kelapa dari Kerajaan Sunda pada tanggal 22 Juni 1527. Nama ini biasanya diterjemahkan sebagai kota kemenangan atau kota kejayaan, namun sejatinya artinya ialah "kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha" dari bahasa Sansekerta jayakrta. Nama lain atau sinonim "Jayakarta" pada awal adalah "Surakarta".[5]

Nama lain Jakarta

Batavia (nama kolonial Belanda), Betawi (ejaan lain Melayu, Indonesia), Sunda Kelapa (nama asli), Cakarta (Turki), Djakarta (ejaan lama Indonesia, Perancis, Jerman, Romania), Dzhakarta - Джакарта (Rusia), Džakarta (Serbia, Kroasia), Dżakarta (Polandia), Dzsakarta (Hungaria), Giacarta (Italia), Iacárta (Irlandia), Jacarta (Portugis), Jakaruta - ジャカルタ (Jepang), Jagatara - ジャガタラ (Jepang [arkais]), Τζακάρτα (Yunani), ჯაკარტა (Georgia), Yakarta (Spanyol), Yǎ Jìa Dá (baca: Yǎcìatá) - 雅加达 (Tionghoa)

Sejarah Jakarta

Sunda Kelapa (397–1527)

Jakarta pertama kali dikenal sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda yang bernama Sunda Kelapa, berlokasi di muara Sungai Ciliwung. Ibukota Kerajaan Sunda yang dikenal sebagai Dayeuh Pakuan Pajajaran atau Pajajaran (sekarang Bogor) dapat ditempuh dari pelabuhan Sunda Kalapa selama dua hari perjalanan. Menurut sumber Portugis, Sunda Kalapa merupakan salah satu pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda selain pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, dan Cimanuk. Sunda Kalapa yang dalam teks ini disebut Kalapa dianggap pelabuhan yang terpenting karena dapat ditempuh dari ibu kota kerajaan yang disebut dengan nama Dayo (dalam bahasa Sunda modern: dayeuh yang berarti ibu kota) dalam tempo dua hari. Kerajaan Sunda sendiri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-5 sehingga pelabuhan ini diperkirakan telah ada sejak abad ke-5 dan diperkirakan merupakan ibukota Tarumanagara yang disebut Sundapura.

Pada abad ke-12, pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk. Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas dagang saat itu.

Jayakarta (1527–1619)

Orang Eropa pertama yang datang ke Jakarta adalah orang Portugis. Pada abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda meminta bantuan Portugis yang ada di Malaka untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa sebagai perlindungan dari kemungkinan serangan Cirebon yang akan memisahkan diri dari Kerajaan Sunda. Upaya permintaan bantuan Surawisesa kepada Portugis di Malaka tersebut diabadikan oleh orang Sunda dalam cerita pantun seloka Mundinglaya Dikusumah di mana Surawisesa diselokakan dengan nama gelarnya yaitu Mundinglaya. Namun sebelum pendirian benteng tersebut terlaksana, Cirebon yang dibantu Demak langsung menyerang pelabuhan tersebut. Orang Sunda menyebut peristiwa ini tragedi karena penyerangan tersebut membungihanguskan kota pelabuhan tersebut dan membunuh banyak rakyat Sunda di sana termasuk sahbandar pelabuhan. Penetapan hari jadi Jakarta tanggal 22 Juni adalah berdasarkan tragedi penaklukan pelabuhan Sunda Kalapa oleh Fatahillah pada tahun 1527 dan mengganti nama kota tersebut menjadi Jayakarta yang berarti "kemenangan".

Batavia (1619–1942)

Orang Belanda datang ke Jayakarta sekitar akhir abad ke-16, setelah singgah di Banten pada tahun 1596. Pada 1619, VOC dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen menaklukkan Jayakarta dan kemudian mengubah namanya menjadi Batavia. Selama kolonialisasi Belanda, Batavia berkembang menjadi kota yang besar dan penting. Untuk pembangunan kota, Belanda banyak mengimpor budak-budak sebagai pekerja. Kebanyakan dari mereka berasal dari Bali, Sulawesi, Maluku, Republik Rakyat Cina, dan pesisir Malabar, India. Mereka inilah yang kemudian membentuk komunitas yang dikenal dengan nama suku Betawi.

Pada tanggal 9 Oktober 1740, terjadi kerusuhan di Batavia dengan terbunuhnya 5.000 orang Tionghoa. Dengan terjadinya kerusuhan ini, banyak orang Tionghoa yang lari keluar kota dan melakukan perlawanan terhadap Belanda. Dengan selesainya Koningsplein (Gambir) pada tahun 1818, Batavia berkembang ke arah selatan. Tahun 1910, Belanda membangun kota taman Menteng, dan wilayah ini menjadi tempat baru bagi petinggi Belanda menggantikan Molenvliet di utara. Di awal abad ke-20, Batavia di utara, Koningspein, dan Mester Cornelis (Jatinegara) telah terintegrasi menjadi sebuah kota.

Djakarta (1942–1972)

Penjajahan oleh Jepang dimulai pada tahun 1942 dan mengganti nama Batavia menjadi Jakarta untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II. Kota ini juga merupakan tempat dilangsungkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan diduduki Belanda sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949.

Semenjak dinyatakan sebagai ibukota, penduduk Jakarta melonjak sangat pesat akibat kebutuhan tenaga kerja kepemerintahan yang hampir semua terpusat di Jakarta. Dalam waktu 5 tahun penduduknya berlipat lebih dari dua. Berbagai kantung pemukiman kelas menengah baru kemudian berkembang, seperti Kebayoran Baru, Cempaka Putih, Rawamangun, dan Pejompongan. Pusat-pusat pemukiman juga banyak dilakukan secara mandiri oleh berbagai kementerian dan institusi milik negara lainnya (dikenal dengan awalan "kompleks").

Pada masa pemerintahan Soekarno, Jakarta melakukan pembangunan proyek besar, antara lain Gelora Bung Karno, Mesjid Istiqlal, dan Monumen Nasional. Pada masa ini pula poros Sudirman-Thamrin mulai dikembangkan sebagai pusat bisnis kota. Pusat pemukiman besar pertama yang dibuat oleh pihak pengembang swasta adalah Pondok Indah (oleh PT Pembangunan Jaya) pada akhir dekade 1970-an di wilayah Jakarta Selatan.

Laju perkembangan penduduk ini pernah coba ditekan oleh gubernur Ali Sadikin pada awal 1970-an dengan menyatakan Jakarta sebagai "kota tertutup" bagi pendatang. Kebijakan ini tidak bisa berjalan dan dilupakan pada masa-masa kepemimpinan gubernur selanjutnya. Hingga saat ini, Jakarta masih harus bergelut dengan masalah-masalah yang terjadi akibat kepadatan penduduk, seperti banjir, kemacetan, serta kekurangan alat transportasi umum yang memadai.

Pada Mei 1998, terjadi kerusuhan di Jakarta yang memakan korban banyak etnis Tionghoa. Gedung MPR/DPR diduduki oleh para mahasiswa yang menginginkan reformasi. Buntut kerusuhan ini adalah turunnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan.

Bahasa

Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura atau Sunda Kalapa, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau etnis Sunda di pelabuhan Sunda Kalapa, jauh sebelum Sumpah Pemuda, sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional. Karena perbedaan bahasa yang digunakan tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi (kata turunan dari Batavia). Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan terakhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik[6] yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.

Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi.

Bahasa daerah juga digunakan oleh para penduduk yang berasal dari daerah lain, seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Minang, bahasa Batak, bahasa Madura, bahasa Bugis, dan juga bahasa Tionghoa. Hal demikian terjadi karena Jakarta adalah tempat berbagai suku bangsa bertemu. Untuk berkomunikasi antar berbagai suku bangsa, digunakan Bahasa Indonesia.

Selain itu, muncul juga bahasa gaul yang tumbuh di kalangan anak muda dengan kata-kata yang terkadang dicampur dengan bahasa asing. Beberapa contoh penggunaan bahasa ini adalah Please dong ah!, Cape deh!, dan So what gitu loh!.

Bahasa Inggris merupakan bahasa asing yang paling banyak digunakan, terutama untuk kepentingan diplomatik, pendidikan, dan bisnis. Bahasa Mandarin juga digunakan menjadi bahasa asing yang banyak digunakan, terutama di kalangan pebisnis keturunan Tiongkok.

Budaya

Budaya Jakarta merupakan budaya mestizo, atau sebuah campuran budaya dari beragam etnis. Sejak zaman Belanda, Jakarta merupakan ibu kota Indonesia yang menarik pendatang dari seluruh Nusantara. Suku-suku yang mendiami Jakarta antara lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Jakarta juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugal.

Suku Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten. Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya barat. Untuk melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya di Situ Babakan, Lenteng Agung .

Musik

Musik tradisional maupun modern di Jakarta menggambarkan perpaduan antarbudaya dan etnis. Pengaruh dari luar Indonesia berasal dari Belanda, Republik Rakyat Cina, Portugis, Arab, dan India.

Untuk musik tradisional di Jakarta, seperti tanjidor dan gambang kromong, terdapat pengaruh baik etnis Sunda seperti penggunaan rebab dan terompet tradisional. Ada pula pengaruh asing seperti halnya Trombone dan Gitar dari Eropa dan beberapa irama musik tradisional Tionghoa.

Selain itu Jakarta sebagai ibu kota Indonesia juga merupakan tempat berkembangnya banyak musisi-musisi nasional seperti Anggun Cipta Sasmi, Agnes Monica, Chrisye, dan Gita Gutawa.

Tari

Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan Tionghoa seperti tariannya yang memiliki corak tari Jaipong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing. Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.

Cerita rakyat

Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si Pitung juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen yang mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal "keras". Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial.

Senjata tradisional

Senjata khas Jakarta adalah golok yang bersarungkan terbuat dari kayu.

Lain-lain

Selain budaya musik, tari-tarian, dan cerita rakyat, masyarakat Betawi juga mengenal seni lenong, topeng betawi, dan kesenian Si Janthuk yang kini sudah dianggap langka.

Di bawah ini akan tersaji nama-nama daerah pariwisata yang terletak di Jakarta:

0 Comments:

Post a Comment